Kesetaraan Gender;marginilisasi perempuan dalam ranah politik dan sosial agama
"Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan" .(mahmud Syaltut)[3]
”gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.”[4]
A. pengantar
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, dalam kehidupan sehari harinya slalu membutuhkan orang lain, hubungan interaksi sosial yang solid akan menumbuhkan jalinan yang erat dan damai dalam suatu komunitas tertentu.Allah menciptakan manusia dengan predikat mahluk yang sempurna diantara mahluk- mahluk Allah yang lainnya.dalam proses penciptaanNya, allah SWT. menciptakan manusia dengan berpasang pasangan yaitu laki laki dan perempuan.yang mana dalam kehidupan sehari harinya slalu saling berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lainnya.keberadaan masing masing memiliki peran penting dalam menjaga dan membangun stabilitas sosial, baik itu di lingkungan keluarga,masyarakat ,dan bernegara.kedua duanya tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan yang nyata, serta harus sejalan dalam prkteknya,di ibaratkan dengan tangan kanan dan tangan kiri kita yang kemanapun dan dimanapun kita berada kedua lembayan tangan ini slalu mendampingi kita dengan tidak ada lelahnya,tanpa mengeluh sekalipun.melainkan dalam prakteknya saling mendukung dan mempunyai peran dan tugas masing-masing tanpa adanya saling topang ataupun saling menjatuhkan diantara satu dengan yang lainnya.
Betapa Mulia sekali allah SWT. menciptakan kedua tangan kita dengan kesempurnaan yang tiada tara sehingga kita dapat mengisi hari hari kita lebih bermakna dalam melakukan aktifitas kita sehari hari, tidak bisa kita bayangkan seaindainya allah SWT. Tidak menganugerahkan tangan di dalam anggota tubuh kita,begitu juga allah menciptakan laki laki dan perempuan untuk saling melengkapi kehidupan kita.
Beberapa waktu ini sangat guncang sekali ketika di media-media massa baik cetak maupun tulis yang memperbincangkan masalah jender,tak luput dari itu, istilah jender sudah bukan hal yang tabu lagi bagi kita semua,dimana mana melagukan tentang jender,baik itu kalangan atas, kalangan menengah, maupun kalangan bawah sekalipun, karena seringkali kita membaca, mendengar,bahkan melihatnya sendiri,bahkan ada ormas ormas ataupun salah satu media audio visual yang sengaja mengadakan perbincangan khusus mengupas habis dengan jender sebagai topik pembahasannya, dengan menghadirkan beberapa tokoh yang terkkait di dalamnya,
Banyak sekali dalam kehidupan sehari hari kita menemui kejadian kejadian yang kaitannya dengan jender,dan banyak sekali orang orang yang salah faham tentang apa definisi jender itu sendiri,yang terlintas dalam benak kita jender hanyalah persamaan derajat antara wanita dan kaum pria, maka tak heran lagi kalo kita melihat adanya wanita yang bekerja dengan profesi yang sama dengan laki laki pada umumnya, walaupun pria dan wanita memiliki derajat yang sama di sisi Allah SWT. Sebagi mahluk ciptaanNYa yang sempurna.
Banyak sekali permasalahan permasalahan yang ada kaitanya dengan jender dan feminisme,namun dalam makalah yang sangat sederhana sekali ini, penulis akan mengetengahkan tentang jender;sekelumit permasalahanya, marginilisasi perempuan dalam ranah politik,agama dan Hijab.
B. Jender;sekelumit permasalahan di dalamnya
Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.
Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.
Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekuler, yaitu Qasim Amin. Intelektual yang satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.[5]
Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.[6]
abdurrahman al- kawakibiy murid dari mohammad abduh mengatakan bahwa penyebab utama dari kelemahan ahklak kita (umat islam), adalah karena membiarkan wanita dalam kebodohan . berbeda dengan kondisi terdahulu yang di contohkan oleh Aisyah ra. Yang darinya kita bisa mempelajari separuh dari urusan agama. Sebagaiman Muhammad Abduh, al- kawakibiy juga menolak anggapan bahwa kebodohan akan menyelamatkan wanita dari jurang kehinaan[7]
Jender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus”, berarti tipe atau jenis. Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya.[8] Jender juga sangat tergantung kepada tempat atau wilayah, misalnya kalau di sebuah desa perempuan memakai celana dianggap tidak pantas, maka di tempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan memakai rok. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Misalnya kalau dulu pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan perempuan, maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau susah karena harus tergantung kepada perempuan untuk tidak kelaparan.hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu,serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan, Hubungan ini semakin berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut).
Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi kebudayaan,Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqh yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat mengalami proses enkulturasi.
Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti diketahui bahwa wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh.
Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/al- musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur’an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka seperti dalam (Q.s. al-Nisa’/4:12) . Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat (Q.s.al-Nisa’ /4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2: 228 dan s. al-Nisa’/4:34) .
Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di sinilah perlunya mengkaji al-Qur’an secara hermeneutik, guna memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sabab nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sabab wurud).
Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya. Seperti dalam karier politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka sebelum Islam.
C. Marginilisasi perempuan dalam kancah politik dan agama
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama sesuai dengan posisinya masing masing sehingga memiliki tanggung jawab yang sama terhadap bidangnya,perempuan memiliki banyak sekali tugas dan tanggung jawabnya dalam strata starata kehidupan sehari-hari.Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digaris bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Firman allah:"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa". (QS 49: 13).
Abdul wahab izzam berpendapat bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan laki laki dalam berpolitik, dengan mengedepankan beberapa akidah yang diantaranya, pertama, sesungguhnya tidak akan terjadi perselisihan antara wanita dan laki laki, dalam hal ini laki laki merupakan satu komunitas dan perempuan adalah komunitas lain.Sehingga dapat di katakan bahwa laki laki adalah bapak, anak saudara laki laki bagi wanita.sementara wanita adalah ibu, putri dan saudari perempuan bagi laki laki.adapun perselisihan yang akan terjadi adalah diantara laki laki dan sesamanya dan wanita dengan sesama wanita lain, Kedua; perbedaan yang terjadi di antara laki laki dan wanita pada dasarnya hanya terjadi di kalangan para pemikir, ilmuwan yang menginginkan kemuliaan dan kedudukan yang layak sebagai manusia. Ketiga; Wanita memiliki hak-hak dalam kehidupan sosial yang tidak bisa di pungkiri[9].Lantas Abdul Wahhab izzam mengatakan bahwa wanita memiliki kedudukan dan kebebasan yang sama dengan laki laki dalam berbagai bidang.
Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.termasuk ikut andil dalam politik.karena kedudukan wanita sebagai warga Negara tentu memiliki kewajiban untuk membangun Negara sebagai rasa cinta terhadap Tanah air. Kontribusi sebagai Anak bangsa kepada Negara tentu di sesusikan dengan kekuatan dan kemampuan yang di miliki.peran penting kaum hawa dalam keberlangsungan Negara bisa di jawantahkan dalam bidang politik dan sebaginya.[10]
Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan politik. Q., s. al-Mumtahanah/ 60:12 melegalisir kegiatan politik kaum wanita:
“Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan bai’at dari mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bay’at) mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Istri-istri Nabi terutama ‘A’isyah telah menjalankan peran politik yang penting. Selain ‘A’isyah, juga banyak wanita lain yang terlibat dalam urusan politik,dan banyak sekali putri putri yang terlupakan,dimana pada masanya mencapai kejayaan selama bertahun tahun,misalnya Ratu Rodiah memerintah di Delhi-India 634H, Ratu asma’dan Urwah yang memerintah di sona’a akhir abad 11 H di Yaman,Aissyah- al hurrah di Spanyol(andalus) ,Dalah Fattimiyyah di Mesir Abad 411 H,Khotun memerintah di daerah Mongol[11].mereka banyak terlibat terlibat langsung di medan perang, dan tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah.
Dan perempuan perempuan pada masa nabi banyak yang ikut andil dalam dunia pemerintahan , ada yang langsung turun ke meddan perang ada juga yang saecara tidak langsung (merawat korban perang dsb.) tetapi semuanya memiliki peran yang sangat penting untuk ikut andil dalam pemerintahan ini membuktikan bahwa islam tidak melarang atau mengekang wanita untuk bebas berinteraksi dengan dunia luar, tidak terisolir hanya didalam rumah.saja,sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak harus ikut terjun langsung ke medan perang ataupun ikut campur dengan urusan di luar rumah yang seyogyanya di lakukan laki laki pada umumnya dengan dalil al-quran Q.s al-ahzabQ:S 33. artinya”Dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang jahilliyyah yang dahulu. Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah allah dan Rosulnya.Sesungguhn ya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu dan membersihkan kamu sebersih bersihnya.” [12]
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan. "
Dalam hal ini Moh. Al Ghazali menentang keras adanya pengekangan kaum hawa, dan di amini oleh murid beliau Dr.Yusuf qardawi bahwasanya pengekangan perempuan di dalam rumah yang di sebutkan oleh al-quran di atas untuk hukuman bagi perempuan yang melakukan zina Muhson’ bagaimana mungkin secara logika al quran dan islam menjadikan hukuman ini berlaku juga untuk muslimah yang tidak melakukan zina muhson, seakan akan kita menghukumi perempuan yang tidak melakukan perbuatan zina atau berdosa di luar rumah mendapat istinbat hukum yang sama.sedangkan dalam al qur’an surat al ahzab Q:S 33 yang di jadikan dalil untuk mengekang perempuan.dalam hal ini hanya salah tafsir saja.
Menurut Mufassir imam allusi yang di maksud dengan ayat al ahzab Q:S 33 di atas adalah bukan memenjarakan perempuan di dalam rumah, melainkan as-sakinnah, maksudsnya di sini adalah perempuan di rumah dengan posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang melayani suami dan mendidik anak anaknya. Hal ini tidak berarti menutup pintu bagi wanita untuk melakukan kegiatan yang lainya baik yang bersifat ibadah ataupun sosial politik. Sebagai mana ketika pada zaman rosul.
Banyak sekali kaum perempuan yang aktif di dunia politik dikenal, diantaranya: Fathimah binti Rasulullah, ‘A’isyah binti Abu Bakar, ‘Atika binti Yazid ibn Mu”awiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub, Al-Khayzaran binti ‘Athok, dan lain sebagainya.
Dalam Q., s. al-Tawbah/9: 71 dinyatakan:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kata awliya’ dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.[13]
Dalam hal ini berarti di dalam ajaaran islam sendiri bias masalah jender, dalam islam tidak adanya kekangan utuk kaum perempuan muslimah dalam melakukan kegiatan kegiatanya, dalam strat strata tertentu baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bernegara, dan lain sebagainya. Namun yang jadi permasalahan kali ini adalah sering lalai perempuan bahwa di samping perempuan status sosialnya sebagai aktifis aktifis politik, masih banyak lagi tugas tugas atau peran dan tanggung jawab perempuan yang lainya yang harus di penuhi,itu lebih penting lagi dari pada keikut sertaanya di luar rumah. Yaitu wanita sebagi ibu rumah tangga yang harus mendidik anak anaknya dan melayani suami dalam hal ini kaitanya sebagi isteri.kalo semua itu sudah bisa di penuhi maka tidak ada larangan bagi wanita untuk berada di strata strata sosial lainya selain di dalam rumah.adanya permasalahan jender terjadi di karenakan kurang adanya koherelensi untuk membedakan mana tanggung jawab yang penting untuk di lakukan dengan yang lebih penting.kalau itu semua dapat berjalan dengan baik dan tiap individu baik itu wanita maupun laki laki, niscaya tidak akan ada ketimpangan ketimpangan sosial, baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun Negara sekalipun.
D. Hijab
Perbincangan tentang wanita dan segala yang berkaitan dengannya, seakan akan tak pernah surut.terlebih di saat wanita gencar menuntut persamaan hak dalam berbagai bidang,permasalahan semakin kursial, ketika berhadapan dengan nilai nilai ajaran agama.tak heran,Islam sebagai agama yang sangat peduli dengan wanita,dituding sebagai agama yang mempersempit gerak gerik wanita itu sendiri, baik itu dalam tindak tanduk yang sifatnya etika sehari hari, sampai pada cara berpakaian pun di atur dalam islam.
Salah satunya yaitu di wajibkannya wanita untuk memakai kerudung, yang di jadikan sebagi identitas diri bagi muslimah/ wanita muslim,namun hal tersebut sudah di salah artikan oleh para remaja saat ini,dengan berbagai mode mode yang berbeda.
Keragaman bentuk pakaian wanita muslimah muncul karena memang teks teks keagamaan(al- quran dan sunnah) tidak memntukan satu bentuk pakaian yang menjadi harga paten bagi wanita muslimah yang harus di kenakan,di dalam silam sendiri hanya memberikan petunjuk umum tentang batasan batasan yang harus di tutupi ( aurat).tidak dapat kita bayangkan, alangkah sengsaranya bila wanita uslimah jika sejak awal islam menentukan warna serta bentuk satu pakaian yang sama yang harus di kenakan wanita muslimah yang telah menjadi ketetapan dalam islam, padahal situasi ruang dan waktu akan terus berbeda.tidak adanya bentuk teknis seperti itulah merupakan salah satu bentuk kemudahan yang di berikan agama islam pada pemeluknya khususnya perempuan.
Kalimat hijab dalam al- quran tercatat ada di 8 tempat, sedangkan di hadist terdapat di 333 tempat,hijab dalam pengertian bahasa bisa di artikan penutup(satir) atau mencegah.sedangkan hijab menurut istilah: bermacam macam sesuai dengan batasan aurat perempuan menurut yang mengdefinisikan, salah satunya pengertian hijab menurut sebagian ulama adalah pakaian syar’I yang menutupi perempuan muslimah untuk mencegah kaum laki laki melihat sesuatu dari badanya.[14]
Syarat syarat hijab:1.Menutupi seluruh anggota badan, kecuali bagian bagian tertentu,2.pemakaia n hijab itu sendiri tidak menimbulkan daya tarik bagi lawan jenis,3. terbentuk dari kain yantg tebal, 4.longgar/tidak ketat, 5.tidak memakai farfume yang berlebihan, 6. tidak menyerupai pakaian laki laki, 7. tidak menyerupai pakian wanita non muslim,dan yang ke 8. tidak mengundang syahwat.[15]
Ada beberapa pendapat ulama bahwasanya pemakian jilbab itu wajib tapi ada pemikir islam kontemporer diantaranya menurut Muhammad said al- asmawi dan gamal al-banna menyatakan bahwasanya hijab itu tidak wajib di kenakan bagi muslimah, yang menjadi dasar mereka dengan menyatakan bahwasanya hijab tidak wajib di kenakan adalah sesuai dengan sababunnujjul surat an-nur Q:S (24:31) yangv artinya”katakanlah, kepada waniata yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)nampak dari mereka dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.”,bahwa perempuan pada zaman nabi, mengenakan penutup kepala yang di julurkan ke belakang yaitu balakang punggung, sehingga bagian depan leher dan dada keliatan nampak fulgar, maka ayat ini memerintahakan para wanita pada zaman itu untuk menutupi bagian depan dengan menjulurkan kain dari penutup kepala (khimar),hal ini di akibatkan karena banyaknya kaum perempuan pada zaman itu yang masih bercampurnya antara wanita muslim dan wanita non muslim sehingga dapat di bedakan, jadi sifat hokum di sini bersifat temporal seperti hadist nabi yang menghimbau kepada para sahabat untuk memotong kumis dan memanjangkan jenggot[16].di samping itu ada dua hadust Riwayat Aisyah ra.:tidak halal bagi perempuan yang beriman dengan allah dan hari akhir ketika baligh untuk menampakan, kecuali wajah dan kedua tangannya, dan nabi memegang setengah lenganya ( Nisfu Dhiro’). Dan hadits yang kedua Diriwayatkan dari Abu Dawud dari Aisyah ra. “ Sesungguhnya Asma’binti Abi Bakar,berkunjung ke rumah rasul kemudian rasul bersabda: Wahai asma sesungguhnya perempuan ketika sudah mencapai masa haid tidak pantas untuk di lihat kecuali ini, yaitu rasul menunjuk pada Wajah dan dua telapak tangannya”dengan adanya dalil ini ulama dulu pun sudah terjadi khilaf sebagaimana yang di katakana oleh imam Syaukhani sehingga murid imam Abu khanifah yaitu Abu Yusuf tidak mengkategorikan setengah lengan ( NIsfu Dhiro), tridak termasuk bagian dari aurat perempuan bahkan ada madhab fikih yang menyatakan telapak kaki perempuan bukan merupakan aurat, bahkan penulis tafsir at-tahrir wa tanwir yaitu Ibnu Atsur ketiak menafsiri ayat tentang hijab beliau mencantumkan pendapat yang menyatakan bahwa rambut buakn aurat perempuan perbedaan pendapat ini di karenakann pengaruh urf ( adat), dalam memahami nash[17].sedangkan dua hadist di atas yang di jadikan dasar di wajibkannya hijab bagi perempuan merupakan hadist ahad bukan merupakan hadist muthawatir yang tidak bisa di jadiakn hokum syar’I atau membatalkannya sebagaimana yang di tetapkan oleh ulama ushul Fiqh dan ahali hadist, dua hadist ini juga salaing bertentangan, . Karena salah satunya berisi untuk membatasi aurat selain wajah,telapak tangan, dan setengah Dhiro’sedangkan hadist yang keduanya hanya menyebutkan wajah dan kedua telapak tangan saja yang tidak harus di tutupi.
E. Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri laki-laki dan wanita memang berbeda, ini sunnah ketetapan Sang Pencipta. Sempatkah kita memperhatikan jenis burung yang beraneka. Kakaktua paruhnya melengkung, karena makanannya biji-bijian, bukan kangkung. Si pelikan berkantung besar di bawah paruhnya untuk menyimpan ikan sebagai persediaan makanannya. Sang bangau berparuh amat panjang demi membantunnya memangsa ikan dalam air tanpa tenggelam. Subhanallah!
Begitu juga manusia, sejak berupa benih pun punya ciri yang tidak sama. Semakin dewasa kian banyak perbedaannya, tanpa dapat decegah dan dihindari. Otot laki-laki berkembang lebih kuat, organnya pun lebih berat. Bayi perempuan tumbuh dengan organ khas kewanitaan.
Tidak ada artinyakah perbedaan-perbedaan itu? Semua itu bukti adanya perbedaan esensial perempuan dan laki-laki. Dengan teliti dan sangat sempurna, Alloh Subhanahu wa Ta’ala rancang bentuk fisik sesuai dengan tugas masing-masing di sepanjang kehidupannya. Jujur harus diakui, perbedaan peran, tugas serta spesifikasi antara dua jenis kelamin manusia sudah dibawa secara fitrah sejak lahir. Sungguh tidak masuk akal (bagi akal yang sehat dan logis) jika ada yang berkata tak ada pembagian tugas baku antara keduanya,Pembagian peran dan tanggung jawab sosial membawa implikasi pada perbedaan dalam berbagi bidang lain yang terkait dengan kehidupan rumah tangga.. Timpanglah kehidupan rumah tangga, kehidupan bermasyarakat dan seterusnya. Akhirnya timbul kekacauan.
Marilah disadari,wanita dan pria- memang punya hak sebagai individu. Tapi ada yang tidak boleh dilupa, kita hidup di dunia ini punya misi. Kalau Alloh Subhanahu wa Ta’ala tetapkan laki-laki sebagai begitu juga wanita punya misi sesuai kodratnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala pencipta kita, tentu Allah Maha tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita hanya bisa berusaha dan ber tawakal itu saja,tentang masalah hasil, biarlah allah yang mengaturnya!
Selama masing masing individu, laki laki dan perempuan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya masing masing, niscaya tidak akan ada yang namanya kekerasan terhadap perempuan dan lain sebagainya.hidup damai, tentram itu yang kita harapkan oleh kita semua bukan????
Wallahu a’lam Bishshowab.
[1] Makalah sederhana ini di sampaikan pada forum diskusi marhalah”Subulana” PCINU mesir pada tanggal 28 juli 2007,makalah ini kami persembahkan buat ortu saya serta Mahasiswi kedokteran Univ. Wijaya kusuma yang rela menunggu.
[2] Manusia lemah biasa yang sedang mencari jalan pulang
[3] Mantan syekh al- azhar dalam bukunya, Min Tawjihat Al-Islam
[4] Dr. Lois Lamya Al- faruqi
[5] Qasim Amin, dalam bukunya Tahriru Al-Mar’ah, Kairo, 1899, hidayatullah. com, rabu 25 oktober 2005
[6] Syekh Mahmud Abu Syuqqah, Tahriru Al-Mar’ah Fi Ashari Ar-Risalah, kuwait1991.hidayatu lloh com. Rabu 25 oktober 005
[7] Abdurrahman al-Kawakibiy, Um Al- Qura, Dar al-Syuruq al-Arabi, Beirut ,cet. IV,1991, hal. 130-131
[8] Webster's New World Dictionary gender, "Paham Jender yang Sakinah Mawaddah Warahmah Oleh: Masthur Yahya
[9] Abdul Wahab Izzam, al mar’ah fi hadza al ashr: Hal Yusmah laha bi al- amal’siyasiy, dalam khishad al- fikr-al arabiy al-hadist fi qadhaya al marah, muasssanah Nasr li al- tsaqofah.op, cit, hal 366-368
[10] Dr. Georgea ‘Athiyah Ibrahim, Huda Sya’rawiy al- zaman wa al-Riyyadah, jilid 2, op. cit, hal 389
[11] Fatimah merrinissy, shulthanat munassayat, al markas, ats-tsaqofi al arobiy, beirut
[12] Dr. Akhmad Rabbiy Ahmad yusuf, Al- mar’ ah al muslimah baina hijjab Wa niqqab, al mannar, cairo ,
[13] Nasaruddin Umar, praktek kesetaraan jender pada masa nabi, hidyatulloh. com,26 oktober 2005
[14] Akhmad rabbi akhmad yusuf, al mar’ah al- muslimah,bainal hijab waa’ niqob, al manar kairo,hal 13-14.
[15] Mohammad Nasirudin al- banni, Hijabul mar’ah fil kitab was-shunah,maktab islami,cet 8, 1987
[16] Muhhamad Sa’id Al- asmawi, haqiqotul hijab, Wakhujiyyatul hadist, muassasah rudjul Yusuf, cairo , hal 24-25
[17] Akhmad Rabi’Akhmad Yusuf,Al- mar’ah al- Muslimah baina Hijab Wa niqab, al manar, kairo
[18] artikel, makalah, opini yang di sadur dari berbagai link di internet.
Bibliografi
1. al Qur’an dan terjemahannya, penerbit mahkota , Surabaya
2. al mizan studi club cairo , FEminisme;pandangan tentang pergolakan sosial kaumhawa, kamis, 19 juli 2007, oleh M. masykur abdillah
3. Mantan syekh al- azhar dalam bukunya, Min Tawjihat Al-Islam
4. Dr. Lois Lamya Al- faruqi
5. qasim amin, dalam bukunya tahriru al-mar’ah, kairo 1899, hidayatullah. com, rabu 25 oktober 2005
6. Syekh Mahmud Abu Syuqqah,Tahriru al-Mar’ah fi ashari ar-risalah,kuwait19 91.hidayatulloh com. Rabu 25 oktober 005
7. Webster's New World Dictionary gender, "Paham Jender yang Sakinah Mawaddah Warahmah Oleh: Masthur Yahya
8. Abdul Wahab Izzam, al mar’ah fi hadza al ashr: Hal Yusmah laha bi al- amal’siyasiy, dalam khishad al- fikr-al arabiy al-hadist fi qadhaya al marah, muasssanah Nasr li al- tsaqofah.op, cit, hal 366-368
9. Dr. Georgea ‘Athiyah Ibrahim, Huda Sya’rawiy al- zaman wa al-Riyyadah, jilid 2, op. cit, hal 389
10. Fatimah merrinissy, shulthonat munassayat, al markas, ats-tsaqofi al arobiy, beirut
11. Dr. Akhmad Rabbiy Ahmad yusuf, Al- mar’ ah al muslimah baina hijjab Wa niqqab, al mannar, cairo ,
12. Nasaruddin Umar, praktek kesetaraan jender pada masa nabi, hidyatulloh. com,26 oktober 2005
13. Akhmad rabbi akhmad yusuf, al mar’ah al- muslimah,bainal hijab waa’ niqob, al manar kairo,hal 13-14.
14. Mohammad Nasirudin al- banni, Hijabul mar’ah fil kitab was-shunah,maktab islami,cet 8, 1987
15. Abdurrahman al-kawakibiy, um al- qura, dar’I Syuruq al- arabiy, Beirut ,cet. IV,1991, hal. 130-131
Login citos
RUTE DOMESTIK
RUTE INTERNATIONAL
Labels: Ilmiah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment